[Cerpen] : Sampai Tiba Waktu Yang Tepat
Setiap kali hujan datang, tak banyak yang bisa aku lakukan kecuali duduk di dalam kamar. Melihat air yang turun dari langit. Berharap bahwa aku bisa berlari ke sana, ikut merasakan inginnya udara yang mampu menyejukkan pikiran.
Dan setiap kali hal itu terjadi, aku selalu memikirkan
hal yang sama. Kebingungan, kebimbangan tentang apa yang ada di dalam benakku.
Memikirkan tentang seseorang, tentang ikatan dan arti dari sebuah masa yang
pernah dilalui bersama. Aku teringat dengan Al. Sahabatku sejak masih kecil.
Sepuluh tahun lebih kami menghabiskan waktu bersama,
berbagi cerita dan kebahagiaan. Kedekatan yang berawal dari kegiatan belajar
kelompok sampai menghabiskan hari libur bersama. Kemudian banyak lagi hari yang
kami habiskan bersama, dan semakin waktu berlalu, ada hal yang mengusik
ketenangan hatiku.
Tak sama lagi rasanya ketika duduk dengannya, Tak sama
lagi rasanya ketika dia mengajakku berbicara. Ada semacam keindahan yang aku
rasakan, keindahan yang baru aku sadari setelah sekian lama melakukan banyak
hal bersamanya. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi dalam diriku. Tapi sejenak
aku tak berani menatap matanya.
Saat sarapan, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku
menyadari kalau dalam beberapa menit ke depan aku akan bertemu dengannya di
sekolah. Memikirkan hal tersebut mendadak menghilangkan selera makanku yang
biasanya cukup besar. Bahkan Ibu pun dibuat khawatir dengan keadaanku.
“Ra, kenapa sarapannya belum dimakan?” itu adalah
pertanyaan Ibu yang sama setiap hari, setiap pagi.
Aku pun selalu menjawabnya dengan senyum yang sama. Senyum
yang menahan beribu kegelisahan di dalam dada. Kegelisahan yang mendadak
menyesakkan dada dan membuat perutku sakit.
“Rara mau ke toilet,” langsung aku bangun dari tempat
makan dan beranjak ke kamar mandi.
Itu adalah gejala aneh yang timbul setiap kali
memikirkan Al. Aku tak tahu kenapa semua ini bisa terjadi, tapi kuharap ada dokter
yang bisa menyembuhkan penderitaanku.
Seharusnya sekolah bisa menjadi tempat yang
menyenangkan. Sama seperti masa lalu di mana aku bahkan tak pernah suka menghabiskan
hari libur di rumah. Bangku nomor 3 dari arah pintu adalah tempat dudukku. Sedangkan
tepat di belakangku adalah tempat duduk Al. Mendadak aku jadi begitu cemas,
memikirkan apa yang harus aku lakukan
saat bertemu dengannya pagi ini. Aku mencemaskan hal itu setiap hari. Bisa
dibayangkan bagaimana sulitnya menjalani hari-hari seperti ini.
“Halo, Ra,” Sekar mengejutkanku ketika tiba-tiba ia
datang dengan sebuah kotak kado besar di tangannya. Dia nampak begitu senang,
belum pernah aku lihat ekspresi seperti itu. Bahkan di hari di mana akan ada
ulangan matematika.
“Kau hari ini ulang tahun?” tanyaku heran.
Dia menggeleng, masih dengan senyum lebar yang
membuatku bingung, “Hari ini kan ulang tahun Al. Dan ini hadiahku untuknya.”
Aku cukup kaget mendengarnya. Terlalu sibuk dengan
kegelisahanku terhadap Al justru membuatku lupa hari ulang tahunnya. Sahabat macam
apa aku ini? Sejenak aku merasa kesal dengan diri sendiri.
“Jangan bilang kau lupa hari ulang tahunnya,” Sekar
seolah bisa membaca pikiranku.
Aku tak bisa berkata banyak, hanya mencoba untuk
memberi alasan yang tepat, “Sepertinya aku terlalu serius belajar untuk ulangan
hari ini. Sampai-sampai aku melupakan ulang tahunnya.”
Sekar hanya geleng-geleng mendengar alasanku.
Sepanjang waktu ulangan, aku terus menyalahkan diri
sendiri yang melupakan hari ulang tahun Al. Hampir setiap malam dia hadir dalam
mimpiku, hampir setiap saat aku memikirkannya, tapi aku tak ingat hari
lahirnya. Inilah sebuah kesalahan besar yang telah aku lakukan padanya.
“Ra,” dari balik punggung Al berbisik-bisik
memanggilku.
Sebelum merespon panggilannya, aku melihat ke
sekeliling terlebih dahulu, memastikan kalau Pak Agung tidak sedang melihat ke
arahku. Ini bisa jadi bencana. Setelah semuanya nampak aman, aku mencoba
sedikit menoleh ke belang dan berbicara dengan suara sepelan mungkin, “Kenapa?”
“Nomor enam jawabannya apa?” ternyata Al memanggilku
untuk menanyakan jawaban dari soal ulangan. Ya, ini namanya mencontek.
“298,” jawabku.
Kemudian kami kembali ke kertas ulangan masing-masing.
Aku telah menjawab semua soal, dan waktu yang tersisa kugunakan untuk
memikirkan orang yang duduk di belakangku. Sahabatku. Namun dalam hati meronta
seolah ingin agar ia tahu bagaimana kacaunya pikiranku karenanya akhir-akhir
ini.
Tapi nampaknya Al tak memikirkanku seperti bagaimana
aku memikirkannya. Mungkin begini saja sudah cukup. Jika aku memang menaruh
perasaan padanya, biarlah hanya aku yang tahu. Jika aku jatuh cinta padanya,
maka biarlah aku jatuh cinta diam-diam.
Aku hanya masih meragu dengan perasaanku sendiri.
Sepulang sekolah, aku, Sekar dan Al sengaja pergi ke
kantin untuk merayakan ulang tahun Al. Tahulah bagaimana seorang anak sekolah
merayakan ulang tahun. Hanya dengan makan semangkuk bakso, itu sudah cukup.
Sampai akhirnya Sekar memberikan kadonya yang
berukuran cukup besar, sementara aku tak membawa apa-apa.
“Maaf, aku tak membawa kadonya. Mungkin akan aku antar
ke rumahmu nanti malam,” begitulah janjiku pada Al.
Dan untuk menepati janji, sepulang sekolah aku
langsung mencari kado yang pas untuknya. Aku tak pernah punya tabungan yang cukup
untuk membelikannya sepatu olah raga. Tapi setidaknya aku tahu bahwa dia sangat
menyukai voli. Kubelikan saja dia sebuah bola voli. Mungkin itu akan menjadi
hadiah yang bermanfaat untuknya.
Biarlah aku menjadi bagian dari hari-harinya walau
hanya sebagai sebuah bola. Setidaknya itulah caraku mengungkapkan rasa cinta dalam diam.
Malamnya aku datang ke rumah Al. Ternyata saat itu di
rumah Al sedang ada acara makan malam keluarga untuk merayakan ulang tahunnya. Aku
pun diajak untuk bergabung. Bertemu dengan orang tua Al dan kedua kakak
perempuannya.
“Sudah lama sekali kamu tidak datang kemari,” ucap Ibu
Al yang nampak begitu senang melihat kehadiranku.
Kubalas sambutan itu dengan senyum simpul. Selama ini
aku memang tak punya cukup alasan untuk berkunjung kemari. Kalaupun ada tugas
kelompok dengan Al, kami lebih sering mengerjakannya di sekolah. Lagipula
sekarang rumah Al lebih jauh dari rumah sebelumnya, ketika kami bertetangga
dekat.
Usai makan malam aku dan Al duduk di ruang tamu. Aneh sekali
suasananya. Kami berdua nampak sama-sama canggung, atau hanya aku yang
canggung. Aku sampai tak tahu harus berkata apa. Hanya diam dan tak bisa
berhenti tersenyum.
Kami sudah saling mengenal cukup lama. Selalu belajar
di kelas yang sama sejak SD, dan sekarang kami hanya duduk berhadapan tanpa
banyak suara. Sejujurnya, aku benci suasana seperti ini. Seandainya ada Sekar,
tentu saja tidak akan sesepi sekarang. Dia selalu bisa mencairkan suasana. Ia selalu
mampu menutupi rasa canggungku setiap kali berhadapan dengan Al. Dan sekarang
dalam hati aku berharap tiba-tiba Sekar muncul di sini.
“Ngomong-ngomong, terima kasih untuk kadonya,” Al
memecah keheningan di antara kami. Nampaknya ia tak tahan kalau harus saling
diam seperti ini.
Aku mengangguk, “Ya, kuharap kau menyukainya.”
“Kau pasti bersusah payah untuk mencari kado untukku. Kau
sudah memberikan semua yang aku inginkan. Sebuah mobil tamiya di kelas 5 SD, sebuah
harmonika di kelas 1 SMP, jersey pemain favoritku di kelas 2 SMP, poster jumbo
tim voli idolaku, dan sekarang entah apa lagi yang kau berikan untukku.”
Kurasa terlalu berlebihan jika Al mengingat semua kado
yang pernah aku berikan untuknya, “Itu hanya hadiah kecil. Hadiah yang kuharap
bisa membuatmu senang,” ujarku, “Aku tahu kau sangat ingin memiliki sepatu yang
sama dengan pemain voli favoritmu. Tapi aku tak membelikan itu kali ini.”
Al tersenyum padaku, “Sebenarnya sepatu itu bukanlah
hal yang benar-benar aku inginkan.”
“Benarkah?” aku hampir tak bisa menyangkanya. Al begitu
sering memicarakan tentang sepatu idamannya, “Lalu apa yang paling kau
inginkan?” mendadak aku jadi penasaran.
“Kau,” jawabnya.
Aku masih belum paham dengan maksud ucapan tersebut, “Apa?”
Al mengulangi jawabannya, “Hal yang paling aku
inginkan saat ini adalah kau.”
Seketika jantungku seolah berhenti, nafasku sesak dan
aku seperti ingin pingsan. Atau mungkin sebaliknya, jantungku berdebar kencang,
nafasku memburu dan aku seperti akan meledak. Ada hal aneh yang mendadak
menyerang diriku.
Ia melanjutkan ucapannya, “Kurasakan kau sedikit berubah
akhir-akhir ini. Aku selalu takut kalau ternyata aku telah membuatmu merasa tak
nyaman berada di dekatku. Aku hanya ingin kau yang dulu kembali.”
“Saat kau mulai merasakan sikap anehku, saat itulah
sebenarnya aku mulai menyukaimu. Aku jatuh cinta padamu,” ucapku. Namun hanya
dalam hati. Kuharap aku bisa mengatakan padamu. Tapi mendadak lidahku kelu. Aku
takut mengutarakan perasaanku. Aku takut perasaan itu akan merubah persahabatan
yang indah di antara kita.
Maka, biarlah aku simpan kalimat itu, sampai tiba
waktu yang tepat untuk mengatakannya.
3 comments:
Silakan tinggalkan komentar. Boleh kritik, saran atau apapun.. Jangan lupa untuk selalu menggunakan kata-kata yang santun. Terima kasih.